Kamis, 26 Agustus 2010

Mekah : Pusat Waktu Dunia ?

Beberapa waktu yang lalu, beberapa media memberitakan tentang pemerintah Arab Saudi yang membangun sebuah jam gadang di kota Mekah dan bermaksud menjadikan Mekah sebagai pusat waktu dunia menggantikan GMT (Greenwich Mean Time) yang telah digunakan selama 125 tahun.

Apa yang dimaksud dengan pusat waktu dunia ?

Sir Stanford Fleming membagi zona waktu menjadi 15 derajat, maksudnya, setiap tempat dibumi yang memiliki perbedaan posisi bujur sebesar 15 derajat maka akan berbeda waktu selama satu jam. Bumi memerlukan waktu 24 jam untuk melakukan rotasi, maka 360 derajat dibagi 24 jam adalah 15 derajat garis bujur. Pusat waktu dunia merupakan pusat waktu kesepakatan dengan cara menentukan posisi bujur nol, yang membelah bumi menjadi dua bagian.

Pusat waktu dunia saat ini mengacu pada Greenwich, sebuah kota di tenggara London, Inggris, berdasarkan konferensi internasional di Washington DC, Amerika Serikat yang diikuti oleh 41 negara pada tahun 1884, menetapkan Greenwich sebagai bujur nol atau titik nol acuan garis bujur yang membelah bumi menjadi bagian timur GMT dan bagian barat GMT. Pada waktu itu, Perancis tidak sepakat dan memilih menggunakan PMT (Paris Meridian Time), baru pada tahun 1911 Perancis ikut menggunakan GMT.

Posisi Indonesia dari Greenwich adalah 95 derajat sampai 141 derajat Bujur Timur (BT). Posisi 95 derajat BT dibagi 15 derajat adalah 7 jam. Maka, bila di London adalah pukul 24.00, maka di Indonesia bagian barat adalah pukul 07.00 atau +7 GMT. Penentuan waktu ini juga digunakan pada komputer, anda dapat melihatnya pada “Time Zone” komputer yang menunjukkan (GMT+07:00) Bangkok, Hanoi, Jakarta.

Mengapa Mekah diajukan menjadi pusat waktu dunia ?

Ini bukanlah wacana baru, seminar internasional sehubungan dengan Mekah akan menggantikan GMT telah di adakan di Qatar pada tahun 2008. Sejumlah ilmuwan menganggap Mekah adalah “pusat bumi”, hal ini diungkapkan oleh Ilmuwan Mesir Prof. Dr. Hosien Kamal El Din Ibrahim yang membuat peta batu dunia dan menunjukkan posisi Mekkah yang berada ditengah bumi. Kesimpulan ini diperoleh dengan menggunakan perhitungan matematika dan spherical triangle, yang tentu saja dibantu program komputer. Peneliti Mesir Abdel-Baset al-Sayyed juga mengklaim bahwa Mekah adalah daerah tanpa kekuatan magnetik atau “zona nol magnet”.

Pemindahan pusat waktu dunia, bukanlah “perkara gampang”, diperlukan kesepakatan dunia internasional untuk dapat melakukan hal ini, mungkin banyak yang menganggap pemindahan pusat waktu dunia hanya akan “membuang waktu” dan “biaya”. Tapi, apabila memang kajian Prof. Dr. Hosien Kamal El Din Ibrahim memang terbukti secara ilmiah, tidak ada salahnya ilmuwan diseluruh dunia untuk dapat menerima ini, karena penentuan pusat waktu dunia mungkin bisa dimana saja, tergantung pada kesepakatan bersama yang didukung dengan perhitungan ilmiah yang akurat.

Ditemukan, Obyek Tertua di Tata Surya

Jakarta- Ilmuwan berhasil menemukan mineral baru seukuran kacang polong di dalam batuan meteorit. Ini dianggap sebagai obyek tertua di sistem tata surya.

Mineral yang berusia 4.568 miliar tahun ini telah mendorong umur sistem tata surya menjadi lebih ‘tua’ sekitar 2 juta tahun. Tidak hanya itu, ledakan bintang dianggap menjadi penyebab materi tersebut dapat terjaga di tata surya kita.

Mineral seberat 1,5 kilogram tersebut berada di dalam meteor NWA 2364 yang ditemukan tahun 2004 di Maroko. Meteor ini dipercaya berasal dari sabuk asteroid antara Mars dan Yupiter.

Namun, tes terbaru menunjukkan bahwa mineral di dalam benjolan yang disebut calcium-aluminium inclusions ini telah hadir bahkan sebelum keberadaan sabuk asteroid. Mineral tertua ini mungkin dibentuk saat awan gas antarbintang dan debu (nebula) telah runtuh dan membentuk matahari. Kejadian tersebut bisa menjadi teori pembentukan matahari.

“Setelah hancurnya nebula matahari, materi mulai mengembun karena suhu menurun. Proses selanjutnya adalah pembentukan inklusi,” kata penulis utama studi ini, Audrey Bouvier peneliti bersama di Center for Meteorite Studies, Arizona State University.

Bouvier dan rekannya, Meenakshi Wadhwa, mengukur rasio isotop atau komponen yang sering muncul dalam sebuah materi sebagai cara pengukuran usia suatu benda.

“Umur materi ini sekitar 0,3 hingga 1,9 juta tahun lebih tua dari perkiraan sebelumnya. Ini menjadi materi tertua dalam sejarah.”

Tidak hanya itu, penemuan ini juga mendukung teori supernova yang memicu keberadaan nebula matahari kuno dengan materi berat di mana memicu ledakan sekitar 4,57 miliar tahun lalu.

“Saya pikir ini cukup penting dipahami oleh berbagai pihak bahwa materi tersebut menampilkan keadaan sistem tata surya kita yang terkait dengan bintang lain,” kata Bouvier.

Fenomena 4 Matahari di China di Luar Kebiasaan

Jakarta – Munculnya 4 matahari di China yang sempat menghebohkan, hanyalah fenomena biasa. Namun fenomena itu di luar kebiasaan karena harusnya hanya muncul 2 matahari.

Fenomena sun dog yang terjadi di China itu pada awal pekan lalu itu biasanya hanya memunculkan dua pembiasan cahaya matahari. Namun karena muncul empat, maka fenomena itu memiliki kekhususan tersendiri.

“Lazimnya terjadi dua cahaya di kanan dan kiri halo. Kalau 4 memang jarang terjadi,” kata Thomas Djamaludin, peneliti senior astronomi dan astrofisika di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).

Ia menjelaskan banyaknya cahaya yanag muncul itu akibat pembiasan cahaya dan berdasarkan tingkatan kristal awan. “Lapisan kristal awan mungkin terdiri dari beberapa lapis. Lingkaran halo selanjutnya memunculkan efek pembiasan dari beberapa sun dog,” katanya.

Fenomena sun dog biasanya muncul di pagi hari saat matahari masih berada di dekat kaki langit. Jika terjadi di siang hari saat kristal es cukup tinggi biasanya hanya menampilkan fenomena halo.

“Sun dog dan halo biasa terjadi di musim dingin. Itu bukan hal aneh. Setiap muncul kristal es di arah matahari terbit, maka potensi sun dog akan terus ada,” kata Thomas lagi.

Fenomena sun dog juga pernah terjadi di Thailand dan Kazakhtan, pada Februari 2007.

Ilmuwan Wujudkan Kunci Fusi Nuklir

INILAH.COM, Jakarta - Ilmuwan AS memproduksi tembakan sinar laser dengan tingkat energi yang belum pernah dicapai sebelum. Pencapaian ini menjadi langkah kunci menuju reaksi fusi nuklir, demikian US National Nuclear Security Administration (BATAN-nya AS).

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, para ilmuwan menyasar satu megajoule energi dengan menembakkan 192 sinar laser secara bersamaan pada suhu 111 juta Celcius, demikian Badan itu dalam pernyataannya.

Megajoule adalah satuan internasional untuk energi, diambil dari nama fisikawan James Prescout Joule.

"Menghasilkan megajoule energi membuat kita satu langkah lebih dekat ke pembakaran fusi (reaksi penggabungan inti atom)," kata administratur badan nuklir AS itu, Thomas D'Agostino, dalam satu pernyataannya.

"Tonggak bersejarah ini adalah contoh mengenai bagaimana investasi nasional bangsa kita menghasilkan kemanfaatan di berbagai bidang, dari kemajuan di bidang teknologi energi, sampai kepada pemahaman yang lebih baik akan alam semesta."

Reaksi fusi nuklir adalah bentuk energi yang menggerakkan matahari dan bintang-bintang serta menjadi energi alternatif yang secara potensial bersih dan tak berbatas untuk menggantikan cadangan energi fosil yang kian berkurang, namun ketentuan bahwa produksinya mesti terkendali telah membuat para ilmuwan menghindar untuk menelitinya.

Badan atom AS ini mengatakan bahwa dalam upaya menunjukkan reaksi fusi, para ilmuwan memokuskan tembakan laser ini ke sebuah silinder seukuran penghapus pensil memuat target kecil berisikan bahan bakar yang terdiri dari deuterium dan tritium, dua isotop Hidrogen.

Energi laser ini dikonversikan menjadi sinar-X, yang mengkompresi bahan bakar sampai mencapai temperatur dan tekanan tinggi yang jutaan kali lebih besar dari tekanan atmosfer Bumi, demikian pernyataan itu.

Proses ini menyebabkan inti Hidrogen melebur dan kemudian melepaskan energi yang menjadi tahap awal menuju proses fusi nuklir.

Sebaliknya, reaksi fisi nuklir (pembelahan inti atom), yang memerlukan pemisahan inti-inti atom untuk melepaskan energi, tetap ditentang karena keprihatinan keamanan dan limbah radioaktif yang berbahaya dalam jangka waktu lama.

Sabtu, 21 Agustus 2010

Kompor Berbahan Bakar Air

Oleh : SUPARMIN SINUANG RAHARDJO

Banyumas – Ketergantungan masyarakat terhadap kompor elpiji sangat tinggi. Tak pelak, ketika terjadi kelangkaan pasokan elpiji hal itu menimbulkan kepanikan di kalangan masyarakat. Barangkali hal itu tidak terjadi jika masyarakat telah memakai kompor yang ditemukan Suparmin Sinuang Rahardjo (48), warga Kalibagor, Banyumas, Jawa Tengah.

Kompor penemuan Suparmin itu juga tidak akan terpengaruh meski terjadi kelangkaan minyak tanah. Bahkan, sebaliknya, kompor tersebut mampu menurunkan konsumsi minyak tanah.

Aneh memang, kompor “ajaib” yang ditemukan Suparmin justru bergantung pada air. Kenapa? Karena kompor itu sebagian besar bahan bakarnya memang dari air, meski masih membutuhkan minyak tanah. Tetapi jumlahnya sangat sedikit. Itulah kelebihan kompor yang ditemukan Suparmin. Warga Kalibagor itu memang menemukan kompor yang lain daripada yang lain. Bahkan di kolong dunia ini belum ada kreasi semacam itu, sehingga dia memperoleh hak paten atas penemuannya tersebut.

Bayangkan saja, untuk menyalakan kompor hanya membutuhkan listrik, air, dan minyak tanah dengan jumlah sangat sedikit. Perbandingan antara air dengan minyak tanah adalah 1:10. Jika airnya 5 liter misalnya, kebutuhan minyak tanah hanya 0,5 liter. Sangat irit bukan?

Penemuan itu tidak datang begitu saja. Membutuhkan waktu bertahun-tahun agar bisa menciptakan kompor berbahan bakar air tersebut. Suparmin memulainya sejak tahun 2003, baru tahun 2006 mulai menemukan hasilnya. Tahun 2007 sekarang, kompor tersebut sudah semakin baik, meski belum sempurna bentuknya. Tetapi secara prinsip, kompor itu betul-betul telah mampu dioperasikan.

Ketika SH berkunjung ke rumahnya, Suparmin dengan cekatan mampu membuktikannya. Kompor tersebut bentuknya hampir sama dengan kompor elpiji. Bentuknya lebih tebal. Tidak ada tabung seperti halnya tabung elpiji. Hanya ada kabel dari kompor tersebut yang dialirkan pada arus listrik. Selain itu, bahan bakarnya yakni air dan minyak tanah dimasukkan dalam tabung yang bersatu dengan kompor.

Cara kerjanya pun sangat sederhana. Mula-mula, kabel dari kompor dialiri listrik. Aliran listrik itu digunakan untuk memanaskan air yang menjadi bahan bakar tersebut, serta untuk memantik “korek api” elektrik yang ada dalam komponen kompor. Setelah beberapa saat, akan terdengar suara air mendidih. Kemudian, dia menyalakan kompor seperti halnya kompor elpiji. Nyala apinya juga sama persis dengan elpiji (biru), bahkan tidak membuat kehitaman (jelaga) panci atau alat masak lainnya.

Prinsipnya, kata Suparmin, sebetulnya sangat sederhana. Aliran listrik tersebut masuk dalam pemanas yang kemudian membuat air yang menjadi bahan bakar itu mendidih. Dalam kondisi mendidih, air menghasilkan uap yang bercampur dengan minyak tanah. Bersamaan dengan itu, pemantik dihidupkan dan menghasilkan api yang berwarna biru. “Jika kompor dipakai sejak awal, pemanasannya membutuhkan waktu sekitar 10-15 menit. Setelah kelihatan menganga pada “korek” elektriknya maka saklar dinyalakan dan api langsung menyala. Awalnya, aliran listrik membutuhkan daya sekitar 100 watt. Namun jika telah menyala, kebutuhan listrik hanya tinggal 5 watt saja. Kalau kompor akan terus dipakai, sebaiknya aliran listrik jangan diputus. Sebab kalau diputus itu berarti membutuhkan waktu untuk pemanasan lagi,” katanya.

Menurutnya, adanya kompor ini akan sangat membantu masyarakat yang kesulitan membeli gas elpiji atau minyak tanah karena harganya semakin mahal. Penemuan ini, kata Suparmin, memang tidak bisa disampaikan secara detail kinerjanya, karena menyangkut hak cipta. “Yang pasti, dengan adanya penemuan kompor ini, setidaknya masyarakat akan tahu bahwa kompor tidak selamanya berbahan bakar minyak atau elpiji atau listrik. Tetapi juga dapat berbahan bakar air,” tandas Suparmin. (sutriyono)

Sumber: Harian Sinar Harapan, 14 April 2007.

Jumat, 20 Agustus 2010

Reaktor Biogas

Oleh : ANDRIAS WIJI SETIO PAMUJI


Di kalangan peternak sapi perah, terutama di Jawa Barat, membuat biogas dari kotoran sapi tengah menjadi kesenangan baru. Apalagi dalam kondisi persediaan bahan bakar minyak yang tidak menentu dan harganya terus melaju seperti sekarang.

Untuk itu, menghasilkan dan memanfaatkan gas hasil kerja sendiri merupakan kebanggaan tersendiri sehingga para peternak tidak perlu lagi membeli minyak tanah, gas elpiji, atau kayu bakar.

Jangan heran kalau mendatangi peternakan di daerah Lembang dan Cisarua, Kabupaten Bandung, Anda akan menemukan kantong plastik ukuran 5.000 liter dalam sebuah lubang dan kantong lainnya ukuran satu meter kubik mengapung di bawah atap yang disambungkan dengan pipa-pipa plastik.

Perlengkapan sederhana yang biasa terdapat dekat kandang sapi itu sebetulnya reaktor dan penampung biogas. Kotoran sapi yang sudah dicampur air dengan ukuran satu banding satu itu diubah menjadi gas. Gas itu dialirkan pada reaktor. Setelah menjadi gas kemudian dialirkan pada penampung gas. Melalui selang plastik, gas dialirkan lagi ke kompor gas di dapur untuk memasak.

Percobaan membuat reaktor sederhana dari plastik ini sudah dilakukan oleh Andrias Wiji Setio Pamuji (27) pada tahun 2000, saat ia masih kuliah tingkat III di Jurusan Teknik Kimia Departemen Teknik Industri Institut Teknologi Bandung (ITB).

Namun, Andrias baru memasarkannya pada 9 April 2005 setelah menyempurnakan percobaan-percobaannya. Reaktor biogas dari plastik ini sebelumnya pernah menang dalam Lomba Kreativitas Mahasiswa tahun 2002 yang diadakan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Andrias sudah lama mengetahui bahwa kotoran sapi bisa dijadikan gas. Namun, kesempatan membuktikan hal tersebut baru kesampaian saat ia kuliah. Saking penasaran, ia membawa kotoran sapi yang sudah dicampur air dari sebuah peternakan. Kotoran sapi itu ia bawa dengan jeriken ukuran lima liter.

Sampai di rumah indekos, jeriken tetap ditutup agar terjadi fermentasi pada kotoran sapi. Setelah sebulan, jeriken dibuka dan di atas lubang jeriken dipasang plastik. Plastik langsung mengembang.

Andrias yang berasal dari Desa Ngrendeng, Kecamatan Sine, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, itu segera mencari pucuk bolpoin yang terbuat dari logam. Pucuk pulpen ini ditusukkan pada plastik dan keluarlah gas. Ia menyulutnya dengan korek api. ”Ternyata betul, kotoran sapi bisa jadi gas dan bisa dibakar,” ujarnya.

Andrias terus memodifikasi peralatan dengan menggunakan uang bantuan dari teman- temannya. Percobaan demi percobaan ia lakukan untuk bisa menghasilkan reaktor dan penampung gas berharga murah dan berkapasitas mencukupi untuk kebutuhan rumah tangga.

Sampai akhirnya, dari percobaan demi percobaan, ia menghasilkan reaktor dari plastik dengan tebal 250 mikron serta menciptakan kompor untuk jenis gas metana.

Ia baru memasarkan reaktor tersebut pada April 2005. Saat itu dirasa tepat sebab harga bahan bakar minyak (BBM) terus naik. ”Saya sudah memprediksi bahwa BBM akan mahal. Tapi kalau dulu, harga BBM alternatif masih lebih mahal dari BBM yang ada. Sulit bagi masyarakat untuk berpaling,” kata Andrias.

Kini reaktor biogas buatannya sudah digunakan oleh 66 peternak sapi perah di Subang, Bandung, Garut, Tasikmalaya, dan Padang, Sumatera Barat, menyusul Bali, Jawa Tengah, dan Lampung. Sebetulnya, segala kotoran binatang bisa digunakan, termasuk kotoran manusia. Hanya saja teknologi terbentur oleh asas kepantasan dalam masyarakat. Sampah organik juga bisa dipakai sebagai bahan pokok pembuatan gas. Reaktor bisa ditempatkan di tempat penampungan akhir (TPA) sampah. Pada TPA yang mendapat kiriman sampah sebanyak 5.000 meter kubik per hari bisa dihasilkan gas sebanyak 25.000 meter kubik per hari atau setara dengan 31,25 juta watt listrik. Itu juga bisa mengalirkan listrik bagi sekitar 2.500 rumah tangga. Andrias menjual reaktornya dengan harga Rp 1,5 juta, termasuk pemasangan.

Keseriusan dalam kerja sama penting karena penjualan reaktor biogas harus diikuti dengan layanan purnajual yang memuaskan agar masyarakat tidak merasa tertipu. ”Kalau pemakai merasa banyak keluhan dalam menggunakan reaktor biogas, mereka tidak akan percaya bahwa kotoran sapi betul-betul bermanfaat,” ujar Andrias. Ia mengatakan, sampai kini gas yang dihasilkan belum dapat dikemas dalam tabung karena gas dari kotoran sapi adalah jenis metana (CH4). Sementara gas yang dikemas dalam tabung merupakan gas yang bisa dicairkan, yang berasal dari jenis butana (C4 H10) dan pentana (C5 H12). Gas yang bisa dicairkan bisa masuk dalam tabung dengan volume jauh lebih banyak. Namun, metana tidak bisa demikian.

”Tapi biasanya dalam dunia teknologi, segala sesuatu akan terus berkembang. Mudah-mudahan ada dana untuk meriset lagi agar tidak hanya peternak sapi yang bisa merasakan manfaat biogas ini,” kata Andrias.

Sejauh ini, bagi masyarakat yang ingin menikmati biogas dari kotoran sapi dan bagi peternak yang ingin menjual biogasnya kepada tetangga baru bisa dilakukan dengan sistem jaringan gas yang dihubungkan dengan selang-selang, seperti penggunaan gas pada zaman dahulu. Untuk menghitung pemakaian, digunakan meteran.

Andrias adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Anak petani ini sering penasaran dan ingin membuktikan teori-teori yang didengarnya dengan cara melakukan percobaan. Waktu kecil ia pernah membuat listrik dan perahu motor mainan dengan penggerak kincir angin. Kincir angin dibuat dari pemutar kaset dalam tape. Andrias juga senang bertani dan beternak. Tanaman dan hewan ia rawat dengan kasih sayang. Ini adalah ajaran dari ibunya. Sejak kecil Andrias sering membantu orangtuanya bekerja di sawah. Ibunya sering menunjukkan kepadanya sawah-sawah yang subur dan kering. ”Sawah yang hijau dan subur itu setiap hari ditengok petani. Kalau yang coklat itu jarang ditengoki petaninya,” kenang Andrias menirukan kalimat ibunya. Perkataan itu mengartikan, sawah yang sering ditengok akan lebih terawat. Perawatan itu adalah cermin dari ketekunan. Tekun, itulah yang menjadi prinsip hidup Andrias.

Suami dari Mila Juliani Perangin-angin (24) dan ayah dari Aldo Adicipta Yanuar (7 bulan) ini pun membuat dan memasarkan reaktor dengan ketekunannya. Meskipun sudah 66 orang menggunakan reaktornya, keuntungan materi belum ia rasakan. ”Yang penting masyarakat bisa menerimanya dulu,” kata Andrias menekankan. (Yenti Aprianti)